Sabtu, 03 Maret 2012

seriuskah negara ini memberantas korupsi


Konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri masih menjadi berita utama saat Transparency International mengumumkan peringkat korupsi negara-negara di dunia. Dengan rentang indeks dari 0 (terkorup) hingga 10 (terbersih), Indonesia mendapat ”nilai” 2,8, naik dari sebelumnya, 2,6, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-111 dari 180 negara.
Selama kurun waktu 14 tahun, indeks itu bagi Indonesia dianggap yang terbaik. Dalam lingkup yang lebih kecil, yakni sepuluh negara ASEAN, Indonesia naik peringkat ke deretan kelima di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,4). Prestasi yang ”baik” setelah setahun sebelumnya negeri ini berada di posisi buncit.
Indeks persepsi korupsi yang respondennya didapatkan dari para pelaku bisnis itu memang memunculkan sebuah harapan. Kesempatan dan peluang berinvestasi di Indonesia dinilai semakin kondusif dan menarik bagi para pemilik modal.
Meski demikian, bagi masyarakat perkotaan yang menjadi responden jajak pendapat ini, persepsi tentang membaiknya upaya pemberantasan korupsi masih belum jauh beranjak.
Setelah ”drama” di Mahkamah Konstitusi tanggal 13 November 2009, yang menyingkap merajalelanya upaya suap yang diikuti upaya pemidanaan unsur pimpinan KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, hampir tak tersisa harapan akan adanya lembaga negara yang bebas korupsi.
Di semua institusi
Hampir semua responden jajak pendapat (92 persen) menengarai parahnya korupsi dalam berbagai bentuknya yang merajalela di negeri ini. Korupsi tertanam dalam berbagai lapisan masyarakat dan nyaris semua institusi. Hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak terkontaminasi korupsi.
Ibarat penyakit, korupsi menjadi endemik dalam birokrasi serta dalam hubungan antara pemerintah dan pengusaha. Mulai dari lembaga negara di tingkat pusat, daerah, hingga wilayah tempat tinggal, ditengarai responden tidak bebas dari korupsi. Kenyataannya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagai lembaga di negeri ini, bahkan sejak negeri ini baru lahir.
Salah satunya adalah kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 6 miliar pada 1960. Kapten Iskandar, yang pernah menjabat sebagai Manager PN Triangle Coporation, didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatan serta melakukan pelanggaran terhadap perintah Penguasa Perang Daerah Djawa Barat.
Kapten Iskandar dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan Tentara Daerah Militer VI Siliwangi. Ia menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga di atas harga yang telah ditetapkan serta menggelapkan tekstil dan benang tenun (Kompas, 25/9/1965).
Pada Agustus 1967, terjadi penangkapan 17 orang, beberapa di antaranya tentara, yang mengorganisasi sindikat menjual atau menyewakan senjata api untuk tujuan-tujuan kriminal.
Menurut Syed Hussein Alatan dalam Sosiologi Korupsi (1982), dalam suatu masyarakat yang korup, dualisme dalam kegiatan lembaga-lembaga negara akan banyak dijumpai. Pertalian antara korupsi dan kriminalitas akan menjadi fenomena biasa.
Dalam catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 hingga 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga negara, seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, partai politik, hingga para anggota parlemen.
Hukuman ringan
Di sisi lain, keterlibatan langsung maupun tidak langsung para penegak hukum dalam pusaran korupsi mengakibatkan hukuman bagi pelaku korupsi dinilai terlalu ringan atau membangkitkan tanda tanya. Lebih dari separuh responden jajak pendapat (51,5 persen) menyatakan pelaku korupsi saat ini belum mendapat hukuman yang yang setimpal.
Sejauh ini sepertinya baru mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang mendapat hukuman paling lama, yakni 20 tahun. Penjatuhan vonis pada September 2008 itu diberikan karena mantan Kepala Tim Jaksa KPK itu terlibat upaya suap dalam penyelidikan kasus korupsi BLBI.
Sangat sulit membenahi apa yang sudah tertanam dalam benak publik terhadap perilaku korupsi, dalam berbagai bentuknya, yang menjangkiti wajah aparat penyelenggara negara. Terlebih saat penyelenggara negara itu sendiri merupakan pihak yang diharapkan menjadi benteng terakhir dari upaya pembersihan korupsi di negeri ini.
Ketika kepada mereka ditanyakan kepuasan terhadap kinerja aparat kepolisian, aparat kejaksaan, aparat kehakiman, dan Mahkamah Agung dalam pemberantasan perkara korupsi, hanya seperlima responden yang menyatakan kepuasannya. Sebagian besar dari mereka merasa kecewa.
Ketika kepada para responden diminta untuk menyebutkan lembaga terkorup, pilihan jatuh pada Kepolisian (54,8 persen), DPR (33,3 persen), dan Kejaksaan (28,0 persen). Berikutnya yang juga dianggap korup adalah Departeman Agama (9,8 persen), Departemen Kehakiman (8,5 persen), Departemen Keuangan (8,1 persen), dan Dirjen Pajak (5,8 persen).
Berlarut-larutnya penanganan penyelesaian kasus Bibit-Chandra tak luput dari penyebab terkikisnya kepercayaan publik. Sebagaimana dinyatakan separuh lebih responden (58,1 persen) yang menyatakan kecewa dengan penyelesaian kasus tersebut dan hanya 27,6 persen yang puas.
Dari latar belakang responden, tampak semakin tinggi pendidikan, semakin dominan kekecewaan. Sebagian besar responden (59 persen) juga melihat penyelesaian kasus ini sebagai sebuah upaya yang tidak tegas yang dilakukan pemerintah.
Kepercayaan
Meski terbentuk kekecewaan yang cukup mendalam, masyarakat tampaknya belum terlalu menarik persoalan ini keluar dari ranah politik penegakan hukum. Meski pro kontra yang muncul dalam pemberitaan sedemikian kencang, kepercayaan kepada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tampak masih cukup terjaga. Paling tidak, dalam jajak pendapat ini citra SBY masih diapresiasi oleh lebih dari tiga perempat responden.
Korupsi memang dipercaya telah ada sejak negara ini merdeka. Upaya untuk memberantasnya pun telah dilakukan dalam lima masa pemerintahan presiden. Berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi.
Selain KPK sebenarnya ada badan independen lain yang memainkan dan berpotensi memainkan berbagai peran penting dalam pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK), serta Komisi Yudisial (KY).
Dari semua badan yang pernah dibentuk itu, kewenangan yang dimiliki KPK menjadikannya tulang punggung pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar